Minimalisme Mengubah Hidupku

Terasa asing rasanya mengenal istilah “Minimalism” . Tapi justru akibat pemahaman mengenai istilah inilah akhirnya titik balik hidup ku berubah total.

Sebelumnya, izinkan aku untuk flashback sejenak. Singkat cerita, aku dulunya adalah People Pleaser. Ya, menyenangkan orang adalah cara ku bertahan hidup (dulu). Akibatnya, aku terbiasa untuk mengikuti pola hidup orang-orang disekitarku seperti hoby keluar masuk mall, order makanan dan minuman kekinian, gonta-ganti gadget, aktif di sosial media berlama-lama, dll. Semuanya itu kulakukan agar tetap eksis dikancah pertemanan. Sudah bisa ditebak kemana muara dari semua bad habit itu kan?

Hidup jadinya seperti dikejar-kejar hantu setiap waktu. Ada model fashion baju atau merk tertentu yang lagi diskon langsung dibeli. Cafe yang baru hits langsung didatangi. Rela mengantri demi hanya merasakan sensasi “pelanggan pertama yang mencoba”. Gadget belum rusak, udah sibuk cari model gadget terbaru padahal gadget sebelumnya masih sangat layak pakai. Dan masih banyak lagi hal-hal tidak baik yang kulakukan hanya demi bisa tetap mengikuti trend. Bahkan lebih parahnya lagi, aku sempat terobsesi untuk mengikuti Beasiswa Bank Indonesia saat kuliah dulu dengan motivasi ingin bisa tetap belanja barang-barang yang sebenarnya tidak menambah value dalam diriku. Untungnya menang.

Sifat Konsumtif yang telah terpupuk sejak lama itu semakin menjadi-jadi pada saat menjelang hari pernikahanku, akhir tahun 2018. Saking malunya (bahkan aku gamau mengingatnya lagi) aku tidak bisa menyebutkan berapa nominal rupiah yang telah habis terbuang hanya untuk gengsiku dan keluarga besarku dihari pernikahanku. Mulai dari MUA hits, attire ter-hits, aksesoris, dekorasi, fotografer, semuanya aku gunakan jasanya dan tentunya dengan biaya yang tidak sedikit. Lagi-lagi hanya demi menyenangkan mata orang dan gengsi hidup belaka. Yang sekarang setelah kupikir ulang, uang sekian ratus juta itu lenyap dalam sehari. Setelah acaranya selesai, tamu tamu yang sudah puas mengoreksi, mengomentari, menelaah acara pernikahanku akan kembali dengan hidupnya masing-masing. Yah, life must go on kan?

Bukannya hal-hal konsumtif tersebut tidak sempat ditegur oleh calon suamiku (sekarang uda jadi suami). Namun dalam urusan pernikahan, memang andil calon pengantin wanita biasanya lebih banyak dalam menentukan tetek bengek persiapan acara. Mulai dari penentuan vendornya apa, dan konsepnya apa itu aku semuanya yang menentukan.

Untungnya keteledoranku dalam mempergunakan uang untuk acara pernikahanku tidak sampai membuat kami berhutang. Sebelum menikah, kami memang sudah dari jauh-jauh hari mempersiapkan dananya. Namun jika diingat-ingat lagi, sayang sekali rasanya menghabiskan uang ratusan juta tersebut dalam waktu 1 hari. Apalagi tujuan utamanya adalah menyenangkan orang lain.

Memang tidak ada salahnya kalau ada pasangan lain yang menikah dengan acara yang Super Wow jika memang masih dalam batas budget. Tapi untuk Budak Corporate sepertiku, jika saja uang dana pernikahan kemarin bisa di pangkas dengan tidak menggunakan jasa Vendor kekinian, pasti dana tersebut bisa kami alihkan menjadi aset-aset kami yang baru. Jelas-jelas lebih bermanfaat untuk masa depan.

Setelah acara pernikahan tersebut selesai, dan masa-masa honeymoon selesai, awal tahun 2019 aku kembali dinas keluar kota. Kebetulan dulu aku seorang Auditor, jadinya sering perjalanan dinas keluar kota untuk waktu yang cukup lama. Pemeriksaan kali itu adalah pemeriksaan audit di kota Takengon, Aceh Tengah. Kotanya memang kota kecil, sederhana, namun malah dikota kecil inilah titik balik akan pemikiranku yang konsumtif itu berubah menjadi lurus. Dikota yang tenang ini aku merasakan kedamaian. Kota ini dikelilingin oleh Gunung sehingga setiap kali aku keluar dari pintu penginapanku, aku melihat Gunung yang hijau, pemukiman penduduk yang tidak hiruk pikuk. Tenang sekali. Udara disana juga sangat sejuk. Masih asri sekali. Sesuatu yang sangat langka kudapat dikota kelahiranku.

Foto saya berlatar belakang Danau Air Tawar, Takengon, Indonesia

Yang mendasari pemikiranku akan “Minimalism” adalah saat aku menyadari kenapa aku bisa merasa tentram, damai dan bahagia bahkan tidak mencemaskan apapun saat berada dikota Takengon tersebut. Padahal disana betul-betul masih sangat sederhana, bahkan tempat hiburan mendasar seperti supermarket dan bioskop pun tak ada disana. Jika sedang hujan, sinyal sudah pasti tidak stabil. Tapi semua masyarakat disana bisa betul-betul menikmati hidup dengan caranya sendiri. Lebih manusiawi dan lebih bermatabat, menurut pandanganku saat itu. Pemandangan dan udara yang asri disana betul-betul sudah menghipnotisku. Bahwa didalam kesederhanaan sekalipun bahagia dan hidup damai sejahtera itu bisa kita rasakan. Tidak perlu dengan berfoya-foya, tidak perlu tas ber-merk dan Gadget terbaru. Hanya dengan memandang pepohonan dan duduk ditemani udara sejuk plus secangkir Kopi Gayo (Khas Takengon) sudah bisa membuatku berpikir jernih dan tahu kemana arah hidupku selanjutnya.

Sepulang dari sana, aku semakin bersemangat mempelajari tentang kehidupan sederhana, mindfullness, slow living yang kesemuanya itu bermuara pada satu kesimpulan : MINIMALISM. Saat itu, aku tidak terlalu banyak mendapatkan informasi terkait Minimalism dari influencer di Indonesia, kalaupun ada paling hanya 1-2 channel youtube yang membahasnya . Diawal-awal aku banyak belajar dari para Influencer luar negeri dimana penggagas pemikiran Minimalism ini adalah Matt D’Avella, Ryan Nicodemus, dan Joshua Fields Millburn sebagai pelaku Minimalism yang cukup lama.

Setelah aku mempelajari buku, film, channel youtube, seminar terkait Minimalism, akhirnya tepat sebulan sesudah pulang dari Kota Takengon tersebut, aku memutuskan untuk memutus rantai konsumtif yang sudah mengakar didalam hidupku. Salah satu panutan yaitu buku favoriteku dalam perjalananku untuk berbenah barang-barang dan mengurangi tingkat konsumtif ku dalam berbelanja adalah Marie Kondo dan Fumio Sasaki

(Duo Kombo influencer asal Jepang ini nanti bukunya akan aku review di blog ku ya lain ya).

Mulai dari melakukan Decluterring semua barang yang ada dirumah (literally barang-barang satu per satu diperhatikan secara seksama, apakah masih bermanfaat apa tidak, apakah masih menambah sukacita jika ada barang tsb dirumah apa tidak). Pre-loved baju sepatu dan semua barang-barang ku dan suami yang sekiranya sudah lama tidak kami gunakan tetapi masih bagus. Ada juga yang kami sumbangkan untuk keluarga dan orang-orang yang kurang beruntung.

Kami juga mulai mempergunakan benda-benda yang sustainable. Kami juga menyadari bahwa makanan yang kita makan itu prosesnya tidak secepat tangan kita memencet tombol order dari Aplikasi Gofood/Grabfood handphone kita. Butuh waktu mulai dari berbelanja bahan, mencuci, memotong, memilih bumbu rempah, memasak, menghidangkannya. Aku yang sudah konsisten memasak sendiri dan membawa bekal sendiri selama 2 tahun terakhir juga baru tahunya proses makanan yang setiap hari kita konsumsi tersebut sangat panjang sehingga aku sekarang lebih bisa mensyukuri setiap makanan yang masuk ke tubuhku.

Ketika berbelanja juga aku dan suami sekarang benar-benar memperhatikan apa manfaat dari barang tersebut. Apakah umur pakai nya bisa lama? Se worthed itu kah mengeluarkan sekian rupiah demi barang tersebut? Dan pemikiran-pemikiran lainnya. Hal itu juga menjaga kita dari pemikiran-pemikiran belanja impulsif karena ketika ingin beli sesuatu sudah dipikirkan matang-matang plus minusnya. Dan dirumah kami sekarang, selenggang ini tanpa sofa dan meja tamu pun kami merasa tidak merasa kekurangan apapun.

Banyak sudah benefit yang kami rasakan dalam menjalani Gaya Hidup ini selama 2 tahun lebih. Yang paling terasa adalah kesehatan kami jadi jauh lebih baik (dimana dulunya kami langganan opname di rumah sakit), Keuangan kami membaik sehingga kami ditahun 2020 bisa mempunyai rumah baru (mini house ditengah kota ala ala Jepang, mencoba konsep Muji tapi belum sepenuhnya karena kami beli dari Developer), Mental Health kami juga lebih baik karena kami sekarang sadar bahwa tidak perlu dan tidak ada gunanya mencemaskan sesuatu yang belum atau tidak kita miliki.

So, lihatlah! Hanya dengan mengubah prinsip hidup, aku dan suami begitu banyak mengalami perubahan baik yang kami alami. Bayangkan jika semakin banyak orang mengikuti jalan ini dan merasakan benefitnya. Apakah dunia akan semakin lebih baik? Itu sudah pasti! So, spread love and make our world better.

The Less Is More

Life is Short. Focus on things that matter.

25 tanggapan untuk “Minimalisme Mengubah Hidupku

  1. Hallo mbak Feby,
    keren banget nih tulisannya. Saya jadi teringat sebuah buku yang judulnya Hidup minimalis ala orang Jepang. Buku itu juga ngajarin kita bagaiamana untuk tidak ambil pusing akan sesuatu, yg malah jadi ngeribetin kita

    Thank you for sharing Mbak, keren tulisannya.
    Yuk mampir juga ke blog saya, heheh

    Suka

  2. Sangat keren, Kak. BTW kalau aku sih telah sejak lama sekali melakukan gaya hidup minimalis. Otomatis minimalis tepatnya. Alias paspasan sekali. Hahahaha!

    Suka

  3. Semenjak mengenal konsep hidup minimalis, semuanya jadi lebih sederhana. Yang paling mencolok dari yang aku terapin dari pemilihan model pakaian. Setiap mau beli, sekarang selalu nyari warna yang polos, bahkan sampek beli beberapa kaos dengan warna yang sama.

    Seperti yg dibilang Mark Z yang ditanya kenapa pakai kaos warna itu-itu terus, dia ngejawab yang intinya, dia gak mau ngebuang waktunya hanya untuk memikirkan pakaian apa yang akan dikenakan selanjutnya

    Suka

  4. Keren, Kak…aku masih jauh dari ini, tapi jujur pandemi membuatku banyak berubah untuk lebih sederhana memaknai dan menjalani hidup. Termasuk mengurangi gaya konsumerisme.
    Baca awal cerita di atas, tentang pesta pernikahan. Dulu aku sama calon suami (kini suamiku) juga pengin pernikahan sederhana, sekedar akad dan selamatan saja. Eh mertuaku ga setuju, minta ada acara adat Jawa..3 hari full, Hingga ortuku, aku dan suami habis-habisan. Kalau aku ingat lagi tahun 2002 ngabisin uang segitu cuma buat pesta nyesek dada haha

    Suka

    1. sama banget nih wkwk
      kita waktu nikah pengennya simple aja, bahkan klo bisa pesta kebun aja. tapi apalah daya, anak harus berbakti ke orgtua. jadilah dibaut acara full adat. duit melayang sia-sia hanya untuk menyenangkan mata orang lain.
      jadi pelajaran nih untuk generasi setelah kita, semoga orang2 tua zaman now bisa lebih bijaksana ya

      Suka

  5. aku juga pas nikah beneran menghitung printilan sedetil mungkin hehehe karena kadang ada sesuatu yang ngga dibutuhkan malah dipake. setelah menikahpun konsep membeli karena kebutuhan bukan karena keinginan juga di lakukan

    Suka

  6. Selamat, kaakk… menemukan kebahagiaan dalam minimalism. Aku juga sedang berusaha menjalani hidup yang simpel dan lebih memaknai hidup. Mindful living saat keinginan terhadap dunia menggebu-gebu, aku jadi banyak berpikir dan makin sederhana cara berpikirku, makin damai hatiku.

    Suka

  7. Aku pengen baca bukunya duo Jepang itu deh ttg minimalism. Udah pernah baca review buku2 mereka di blog tmn. Makin penasaran pengen baca supaya bisa mulai konsep hidup minimalism.

    Suka

  8. hai mbak salam kenal~

    aku setuju banget. minimalism juga mengubah hidupku
    mulai dari baju-baju di lemari yang berkurang, sampai ke pribadiku
    dulu tiap kali liat diskon gede-gedean aku paling nggak tahan untuk nggak beli,
    tapiii sejak aku baca bukunya marie kondo dan ngerasain gimana sumpeknya ruangan penuh barang, aku jadi nggak ada nafsu buat belanja barang yang nggak guna hehe 😁

    aku suka quote terakhirnya
    The Less is More 💕

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hihi salam kenal juga mba dea. Saya juga masih jauh dari kata sempurna. Sesekali belanja juga, yg penting sesuai kemampuan dan barang yg dibeli memang ada fungsinya. Semangat selalu dalam proses kita ya mba😊🙏

      Suka

Tinggalkan komentar