
SANDWICH GENERATION
Belakangan ini muncul banyak wacana dan pembahasan mengenai Sandwich Generation. Banyak pro dan kontra terkait tereksposnya isu ini dikalangan publik. Sebelum kita bahas lebih jauh, kita harus paham dulu apa itu Sandwich Generation untuk menyamakan persepsi.
Istilah “Sandwich Generation” atau “Generasi Sandwich” pertama sekali muncul pada tahun 1981 oleh Dorothy A. Miller seorang Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS) dalam jurnalnya yang berjudul “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging”. Beliau mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup generasi di atas dan di bawah mereka. Generasi sandwich ini rentan mengalami banyak tekanan dan rasa terhimpit luar biasa karena mereka merupakan sumber utama penyokong hidup orang terdekatnya.
Kemudian tahun 2019, istilah Generasi Sandwich mulai ramai kembali dibahas dikalangan milenial Indonesia. Hal ini diikuti dengan banyaknya fenomena kegagalan generasi milenial (tahun kelahiran 1981-1996) dalam hal finansial karena harus menjadi tulang punggung bagi keluarga sendiri (istri/suami/anak) maupun keluarga besar (ibu/bapak/mertua/adik/ipar).
Saat ini, menurut hasil sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) per 21 Januari 2021 jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 270,20 juta jiwa. Sedangkan struktur umur penduduk Indonesia didominasi oleh kaum milenial yang berada pada rentang umur 24-39 tahun sebesar 25,8 persen dan kaum Generasi Z yang berada pada rentang umur 8-23 tahun sebesar 27,9 persen.
Menurut Primus Dorimulu, selaku Direktur Pemberitaan BSMH pada Berita Satu mengungkapkan bonus demografi di Indonesia yang terjadi saat ini seharusnya baru terjadi pada pada tahun 2030. Di mana jumlah penduduk usia 15-64 tahun sudah mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia yaitu sebanyak 191,9 juta jiwa penduduk per September 2020.
Bonus demografi ini tidak hanya mencakup pertumbuhan penduduk usia Milenial dan Generasi Z, tetapi juga diikuti dengan fenomena bertambahnya penduduk usia Generasi X (40-55 tahun) yaitu sebanyak 58,65 juta penduduk atau sebesar 21,88 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang akan segera memasuki kategori Penduduk Usia Lansia.
Pada Laporan Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia membagi kelompok lansia Indonesia menjadi 3 yaitu lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun) jauh mendominasi dengan total mencapai 64,29 persen, diikuti oleh lansia madya (kelompok umur 70-79 tahun) sebesar 27,23 persen dan lansia tua (kelompok umur 80 tahun keatas) sebesar 8,49 persen.
Statistik Penduduk Usia Lansia berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa jumlah lansia meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk usia di atas 60 tahun telah meningkat sebesar 5,95 persen sepanjang tahun 2010-2020. Kemudian pada data statistik tersebut, status ekonomi lansia dikelompokkan berdasarkan status ekonomi rumah tangga lansia dimana lansia tersebut tinggal.
Rumah tangga lansia diurutkan berdasarkan pengeluaran perkapita dengan hasil pengelompokan sebagai berikut: 40 persen rumah tangga lansia ekonomi terbawah; 40 persen rumah tangga lansia ekonomi menengah; dan 20 persen rumah tangga ekonomi teratas. Dari pengelompokkan tersebut juga diketahui bahwa ternyata persentasi lansia tua (kelompok umur 80 tahun keatas) berada pada rumah tangga ekonomi terbawah.
Dampak dari peningkatan jumlah lansia yang terus-menerus ini mengakibatkan para lansia tersebut menjadi tanggungan bagi keluarga usia produktif, yaitu mereka yang adalah kaum usia milenial. Kaum milenial ini yang seyogyanya diproyeksikan sebagai penyumbang persentase bonus demografi di Indonesia justru berpotensi menjadi para calon ‘Sandwich Generation’ dimasa mendatang.
Mereka akan merasakan kelelahan yang luar biasa karena harus bertanggungjawab bagi orang tua bahkan keluarga besarnya (menanggung kebutuhan hidup). Mereka akan kelelahan secara fisik, mental serta emosional saat merawat keluarga yang sudah lanjut usia, terutama jika pendapatannya hanya berkisar gaji UMR. Mereka akan kesulitan untuk menabung di masa mudanya. Ditambah lagi pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan peluang kerja yang memadai.
Suvey yang diadakan oleh Lembaga JAKPAT pada tanggal 22-22 April 2020 menyatakan bahwa 48 persen dari 1343 responden mengaku bahwa mereka adalah generasi sandwich di keluarganya. Kewajiban terbesar dari mereka adalah biaya hidup keluarga, kesehatan dan biaya pendidikan anggota keluarganya. Bahkan ada juga yang membantu membiayai hutang keluarga.
Hasil survey ini memperlihatkan betapa banyaknya lansia Indonesia kurang siap dalam menghadapi masa tuanya sehingga lebih banyak bergantung pada anggota keluarga rumah tangga lainnya yang berada pada usia produktif. Ironisnya, fenomena ‘Sandwich Generation’ ini seringkali tidak bisa dihindari oleh beberapa pihak karena situasi dan kondisi tertentu.
Dalam situasi tersebut, Prita Hapsari Ghozie yaitu selaku Financial Planner dan Dosen FEB-UI memberikan beberapa tips yang bisa dipraktikkan bagi para sandwicher:
- Komunikasi dengan pasangan dan keluarga
Apabila kamu memilki orangtua atau keluarga yang membutuhkan bantuan, maka langkah pertama adalah bicara dengan pasangan mengenai kebutuhan ini. Hal ini untuk mengurangi rasa tidak nyaman terhadap pasangan dan rasa bersalah pada anak yang juga masih banyak membutuhkan perhatian. - Komunikasi dengan orangtua serta keluarga besar
Untuk generasi Sandwich yang “wajib” membantu orangtua serta anggota keluarga lain, maka masing-masing sebaiknya memiliki pengertian dan toleransi. Bagi pihak yang dibantu, dengan segala hormat juga bisa turut mengelola gaya hidupnya sebisa mungkin, agar tidak terjadi pemborosan dalam biaya hidup. - Menambah alokasi pos pengeluaran bulanan
Bantuan atau hadiah orangtua umumnya masuk kedalam pos zakat & bantuan yang jumlahnya sekitar 5-10 persen dari penghasilan bulanan. Namun, apabila bantuan bersifat wajib, maka harus dipindahkan alokasinya kedalam pos biaya hidup rutin bulanan. - Penetapan dana darurat
Kebutuhan akan dana darurat sangat penting tidak lagi hanya pasangan dan anak, melainkan juga semua anggota keluarga yang dibantu. Oleh sebab itu, khusus untuk ‘Sandwich Generation’ dibutuhkan sedikitnya 12 kali pengeluaran untuk kebutuhan dana darurat. - Pembelian asuransi Kesehatan
Fisik manusia umumnya akan mengalami penurunan kesehatan. Sehingga, jaminan kesehatan untuk orangtua sebaiknya dipersiapkan dengan baik. Pilihan wajib tentu saja kepemilikan BPJS kesehatan, yang sampai saat ini tidak memiliki batasan usia untuk menjadi peserta. - Mempersiapkan diri untuk dana pensiun
Investasi untuk dana pensiun adalah hal wajib yang harus diupayakan oleh semua orang yang masih dalam masa produktif. Indikator kemampuan finansial adalah kamu sanggup menyisihkan minimal 10 persen dari penghasilan tiap tahun untuk investasi masa depan.
Saran dari penulis untuk pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai regulator yaitu:
1. Agar pemerintah pusat menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) yaitu memberikan edukasi bagi Generasi Milenial dan Generasi Z untuk tidak menikah dini dan tidak terlalu cepat memiliki anak jika belum merencanakan keuangan dan mental secara matang. Hal ini untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dimasa mendatang
2. Agar pemerintah (berkerjasama dengan Kemendikbud) memberikan Edukasi Finansial sedari dini sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi
3. Pemerintah bekerja sama dengan Lembaga terkait untuk menciptakan Program Nasional yang dapat mengedukasi masyarakat yang sudah berusia dewasa agar mempersiapkan diri, baik skill maupun finansial sebelum memasuki masa pensiun.
Demikian pemaparan penulis mengenai fenomena Sandwich Generation yang sedang marak dirasakan oleh generasi milenial Indonesia. Situasi ini memang tidak bisa dihindari oleh beberapa pihak, sehingga kita perlu memberikan apresiasi kepada para sandwicher karena sudah menjadi pahlawan bagi keluarganya. Menjadi sandwicher sejatinya merupakan kebanggaan seorang anak karena bisa berbakti kepada orang tua.
Namun, kita sebagai generasi milenial Indonesia harus memikirkan pengelolaan finansial kita kedepan. Karena sejatinya kita pun akan berkeluarga sendiri nantinya. Selain itu para orang tua juga diharapkan bisa lebih bijaksana dalam melakukan pengelolaan finansialnya, terutama jika masih berada di umur produktif agar di masa lansia kelak kita bisa tetap mandiri. Semangat selalu dan terus berjuang.
“The heritage of the good man is handed down to his children’s children”
Proverbs 13:22
Hmmm.. lagi lagi ini jadi dilema yaa.
Sebenarnya yang buat susah itu stigma para generasi Sandwich sih yang kadang bisa jadi “nyusahin”
Millenials yang mungkin sudah punya growth mindset jadi harus rela mengalah demi baktinya kepada si Sandwhich yang masih cenderung pakai fix mindset
jadi tantangan tersendiri bagi si Millennials ini untuk bisa bertahan hidup secara waras..
SukaSuka
Setuju mba. tekanan yang dialami para sandwicher tersebut besar dampaknya kepada kesehatan mental. Terimakasih kasih sudah mampir🙏
SukaSuka
Memang pilihan yang sangat sulit kalau di situasi seperti ini. Berbakti ya harus adil juga kepada adik juga. Pengelolaan keuangan yang baik bisa teratasi yaa.
SukaSuka
Amin🙏
SukaSuka
Antara kewajiban untuk berbakti pada orang tua dan pasangan + anak, memang stresfull & dilematis. Di satu sisi, ada perasaan bersalah bila tak mampu membiayai hidup orang tua, lagu lamanya, 1 ibu mampu menghidupi 10 anak tapi 10 anak belum tentu mampu menghidupi 1 ibu.
Sementara di sisi lain, ada pasangan dan anak yang juga perlu dibiayai. Sementara penghasilan seret, apalagi bagi yang terdampak pandemi.
Masukan tambahan untuk pemerintah adalah, pengadaan lapangan kerja untuk orang senior age. Selain mengisi waktu bagi orang tua, juga agar mereka mampu membiayai diri mereka sendiri.
SukaSuka
Setuju sekali mas. Memang banyak penerapan dimasa lalu yang dilakukan orgtua kita sudah tidak relevan dengan keadaan dunia dimasa sekarang. Terimakasih sudah memberi masukan dan tambahan ya mas. Saya setuju sekali dengan adanya pengadaan lapangan pekerjaan bagi para lansia untuk bisa tetap sehat secara mental karena berkumpul dengan para lansia juga bisa membuat mereka merasa berarti dan mandiri.
SukaSuka
Tulisan yg sangat detail dan menarik dari penulis tentang sandwich generation, ditambah dengan saran dari Prita yg saya setuju tentang komunikasi, menurut sy generasi ini harus memiliki kejujuran dalam diri sehingga komunikasi yg jujur kadang menyakitkan memberikan kewarasan dalam generasi ini, belum lagi generasi ini akan berputar di permasalahan financial lalu lanjut ke rebutan warisan krn masing2 anak merasa berbakti dan lain hal lagi, saya juga setuju dengan saran penulis kepada pemerintah untuk menahan pernikahan usia dini walau sepertinya mustahil. Trims
SukaSuka
Setuju sekali. Kadang para sandwicher tersebut sebenarnya menahan penderitaannya demi bakti. Harus bisa berani jujur jika memang sudah tidak tertahankan. Hal-hal seperti ini juga yang membuat tingginya tingkat stress di kalangan milenial. Memang betul, rasanya sulit membuat pemahaman untuk masyarakat kita agar sadar bahwa pernikahan di usia dini lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Apalagi juga sudah dibungkus dengan embel-embel ‘perintah agama’. Tapi paling tidak sudah kita suarakan melalui platform kecil saya ini. Terimakasih sudah berkunjung🙏
SukaSuka
Dilema banget yah Kak kalau kondisi perekonomian kurang memadai, alangkah baiknya sblm menikah, membicarakan hal ini sblmnya terhadap pasangan
SukaSuka
Gen Sandwich bisa diblang beban keluarga tapi mereka juga jadi tertekan ya, serba salah memang. Makanya perlu dukungan dan pendampingan nih dari orang2 terdekat.
SukaSuka
memang sandwich generation ini masih jadi hot issue ya, karena memang dilema antara berbakti dan juga realita keuangan zaman skrg. Mudah2an kita diberi kemudahan dan rezeki untuk berbakti kepada kedua orang tua ya, amiin
SukaSuka
Tapi jujur saya selalu kagum dengan sandwich generation ini, entah dengan metode yang seperti apa mereka tetap menjalankan perannya meski saya yakin itu berat, apalagi bagi yang kemampuan finansialnya masih belum mapan. Tetap semangat buat kalian..
SukaSuka
Memang bikin pusing kepala urusan keluarga bererot yang kemungkinan masalah perekonomian tidak stabil. Serba sala kalau ga memberi nanti dibilang ga berbakti. Sebenarnya cukup kepada orang tua saja ga perlu adiknya, kakaknya, sodaranya dll kalau untuk rutin ya. Lainnya sesekali saja. Program KB 2 anak cukup mesti terus digalakkan. Cukup juga menjamin masa depan cerah.
SukaSuka
Bersyukur bukan termasuk ini, karena baik Mertua maupun Ortu pensiunan dan anak bukan cuma suami dan saya, jadi keperluan (tambahan) ortu ditanggung bersama anak lainnya.
Tapi jadi pembelajaran buat saya dan suami untuk lebih bersiap saat menua nanti dan tidak merepotkan anak-anak atau malah menjadikan mereka sandwich generation
SukaSuka
Kalau ditanya, setiap anak pastinya sangat ingin berbakti kepada orang tuanya. Dan orang tua pun tak ingin menjadi beban anak-anaknya.
Namun terkadang, situasi ekonomi tidak semulus yang direncanakan. Financial planner sejak dini memang penting diajarkan di sekolah. Sekaligus menanamkan konsep kebutuhan dan keinginan/gaya hidup. Yang terpenting, di era digital ini, penanaman rasa syukur dan cukup juga sangat krusial untuk diajarkan. Agar tak melulu mendongak ke atas 🙂
SukaSuka
Saya belum pengalaman sih hidup sebagai sandwich. Masih fokus dengan keluarga sendiri. Tapi sepertinya kalau punya kesempatan bermanfaat ke atas dan ke bawah, kenapa tidak. Kuncinya ya tetap selalu bersyukur aja. Nice sharing Mbak Feby, jadi dapat insight baru nih.
SukaSuka
Sepertinya cukup dilema juga bagi generasi sandwich ini. Gak salah juga jika mereka butuh dukungan dari keluarga terdekat dari segi ekonomi dan mental agar tidak terjebak dalam situasi seperti itu.
SukaSuka
Banyak orang yang menjadi sandwich generation, tapi masih banyak juga orang yang memaksa punya anak disaat mungkin finansial belum cukup untuk menambah tanggungan. Makanya selagi belum punya anak, persiapkan finansial dulu sambil persiapan mental buat jadi orang tua yang baik hehe. Ya kalau bukan kita yang mutusin rantai sandwich generation, ya siapa lagi.
SukaSuka
Mau ga mau, generasi sandwich ini masih ada dan cenderung banyak. Ada beberapa teman yg juga jadi generasi ini. Cara ngatasinnya ya nambah pemasukan krn pengeluarannya memang besar.
SukaSuka
Wahh pilihan yang sulit memang yaa, selain ingin memenuhi kebutuhan sendiri juga harus berbagi kepada yang lain baik itu orang tua ataupun kakak adik. Memanajemen uang memang harus dilakukan secara teratur agar semua bisa terbagi dengan rata dan adil. Semoga orang-orang yang sedang mengalami hal ini bisa tetap semngt menjalani harinya dan diberikan rejeki yang berlimpah.
SukaSuka
Sebagai sandwich generation, aku mengalami hal2 di atas mbak. Bener bnget, pas sblum nikah emang bisa nabung tapi ga bisa sebanyak generasi lain yg tdk punya tanggungan apa2
Begitu nikah, jga udah bilang kepada pasangan tentang tanggungan yg masih aku punya
Syukurlah pasangan jg bisa mendukung
Karena kita sama2 sandwich gen
Meski begitu, kita masih punya PR sih untuk keep untuk dana pensiun sama akses
TFs Artikelnya ya mba
SukaSuka
Makanya ketika kuliah ambil di fakultas ekonomi, belajar sambil praktik investasi, kerja juga. Karena sebagai sandiwch generation, yang harus jadi tulang punggung keluarga biayain adik sekolah, bayar kebutuhan rumah, dan biayain diri sendiri rasanya capek kadang. Makanya pengin mutus rantai itu, biar berhenti di aku. Tulisan yang mengguhah Mbak, thank you
SukaSuka
Kalau saya saat ini sudah sepakat kalau kebutuhan orang tua dan keluarga sendiri memang harus dipisahkan. Tidak ingin bekerja keras membahagiakan yang tidak pernah bahagia dengan hal kecil yang saya lakukan.
SukaSuka
Ini memang jadi masalah bagi sebagian orang. Bahkan teman ku yang mengalaminya pun dia punya tekanan luar biasa karena harus menghidupi banyak orang. Ada juga yg menghindari sandwich generation akhirnya temenku mengurungkan diri untuk menikah, karena khawatir katanya dia nggak sanggup.
SukaSuka
Setelah baca ulasan ini, kemungkinan saya juga termasuk generasi sandwich. Pasalnya, ketidak mampuan orang tua membiayai adik sekolah, sehingga saya harus ikut andil membiayai sekolah adik. Padahal dari segi ekonomi, saya dpt dibilang belumlah mapan. Tp mau gimana lagi, kalau bukan orang terdekatnya yg membantu, siapa lagi
SukaSuka
Saya generasi ini… Menanggung 2 lansia, ibu dan ibu mertua. Bantuan dari anak lain bukan tidak ada, tapi 80% ditangan saya dan suami.
Hanya berharap mereka berdua sehat setua-tuanya sehingga bisa menyaksikan cucunya menikah dan punya cicit.
Sulit? Iyaaa.. Itu kenapa sudah mulai kami menyiapkan dana pensiun kami supaya tidak memberatkan anak.
SukaSuka